Berkunjung Ke Monumen Satu Tungku Tiga Batu di Fakfak - Papua Barat

Kamis, 1 April 2021 | 20:42:32

LS Travel

Penulis : LS Travel

Berkunjung Ke Monumen Satu Tungku Tiga Batu Di Fakfak - Papua Barat

Fakfak di Papua Barat menyimpan suatu simbol toleransi dan perdamaian. Namanya satu tungku tiga batu.Ada yang sudah pernah lihat Monumen Satu Tungku di kota Fakfak? Itu adalah Monumen Satu Tungku Tiga Batu ladies, monumen yang menggambarkan filosofi penguat toleransi di Fakfak, Papua Barat.

Tungku adalah simbol dari kehidupan, sedangkan tiga batu adalah simbol dari "kau", "saya" dan "dia" yang mengikat perbedaan agama, suku, status sosial dalam satu wadah persaudaraan. Zaman dulu, orang Mbaham Matta Wuh memasak di atas tungku unik yang terdiri dari tiga batu besar yang berukuran sama, lalu disusun dalam satu lingkaran dengan jarak yang sama sehingga bisa menopang kuali untuk memasak. Batunya harus kuat, kokoh, tahan panas dan gak mudah pecah. Kayu bakar diletakkan di sela-sela batu Lalu kuali diletakkan di atasnya untuk memasak. Harus imbang, tidak boleh timpang. Kalau tidak, kuali akan jatuh dan pecah. Itulah filosofi dibalik satu tungku tiga batu yang kemudian menjadi pegangan hidup dan dasar kerukunan masyarakat Fakfak.

Walau berbeda, masyarakat Fakfak selalu memandang dirinya berasal dari satu rumpun kerabat, satu leluhur jauh sebelum ketiga agama itu ada. Filosofi satu tungku tiga batu juga mengajarkan masyarakat Fakfak tak pernah membedakan agama satu dan yang lain, termasuk suku atau dari mana masyarakat berasal.Peneliti dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto menyebutkan tahun 1870, agama Islam, Kristen Protestan, Katolik sudah menjadi tiga agama yang hidup berdampingan di Fakfak.

Makna agama dalam konsep filosofi satu tungku tiga batu, bahwa ketiga batu itu dilambangkan sebagai tiga agama yang sama kuat dan menjadi kesatuan yang seimbang untuk menopang kehidupan dalam keluarga. Tuhan memang menciptakan manusia di dalam berbagai jenisnya. Ada ras, suku, dan etnis yang bervariasi. Makanya juga ada warna kulit, bentuk tubuh, dan lain-lain yang berbeda-beda. Tetapi justru si inilah letak keindahannya. Secara antropologis, biologis dan psikhologis memang Tuhan menciptakan manusia dalam rupa dan bentuk yang berbeda.

Tetapi seluruh perbedaan itu justru menjadikan dunia menjadi warna-warni dan menghadirkan keanekaragaman. Jadi, jika manusia kemudian mengembangkan sikap toleransi dalam banyak urusannya, maka sesungguhnya ini merupakan aktualisasi potensi manusia yang sebenarnya juga memendam toleransi itu di dalam dirinya.

Sumber Foto Utama: istockphoto.com