Pelajaran Hidup Dari Brand Dan Pandemi

Kamis, 30 September 2021 | 14:16:00

Tika Gilang

Tika Gilang

Branding Coach

PhD Candidate, with Research Focuses on Branding

Pelajaran Hidup Dari Brand Dan Pandemi

Foto: Ladiestory.id

Ladiestory.id - Dengan tertatih-tatih, kita saat ini sudah masuk ke hampir tahun kedua hidup di masa pandemi. Hari ini saya ingin berbagi kisah mengharukan tentang pelajaran yang saya ambil di era pandem ini.

Saya rasa teman-teman semua juga pasti mempelajari hal ini, merasakan pentingnya pelajaran ini, dan banyak dari teman-teman yang mempraktikannya. Pelajaran apakah itu?

Pelajaran Hidup Selama Pandemi

Salah satu pelajaran penting menurut saya adalah bagaimana kita berusaha mencoba mengerti dan mempraktikan ilmu ‘memanusiakan manusia’. Sebuah ilmu yang sangat terkesan mudah untuk dilakukan tetapi ternyata tidak semudah itu untuk dimengerti apalagi dipraktikan.

Konsep Memanusiakan Brand

Foto: Ladiestory.id

Dan ketika kita berbicara tentang brand, ilmu ‘memanusiakan manusia’ tadi juga penting bagi para pemilik maupun pengelola brand. Baik itu untuk brand-brand di luar negeri atau brand-brand lokal yang ada di Indonesia.

Tapi sayangnya, sebelum brand-brand itu memanusiakan manusia yang penting bagi mereka, seperti konsumen dan pegawai mereka, brand-brand ini sudah sedari lama menguasai konsep yang dinamakan ‘memanusiakan brand’.

Konsep ini kemudian menjadi menarik tidak hanya bagi para pelaku saja, tetapi bagi mereka para peneliti di bidang perilaku konsumen maupun di bidang teori budayakonsumen.

Konsep ‘memanusiakan brand’ ini di dunia akademik mulai menjadi bahan perbicangan ketika, anak dari ahli branding David Aaker, yaitu Jane Aaker memperkenalkan konsep ‘brand personality’. Sebuah konsep yang menjelaskan bahwa brand itu bisa dimanusiakan dengan cara meminjam beberapa karakter atau personality dari manusia dan digunakan ke brand.

Menariknya, ketika para peneliti di dunia akademik memulai perbicangan ini di tahun 1990an, praktik memanusiakan brand sudah dimulai lebih dahulu dari tahun 1898. Ketika itu, mascot tertua di dunia yang bernama ‘Bibendum’ lahir ke dunia. Maskot ini diciptakan oleh perusahaan asal Prancis yang bergerak di penjualan ban hingga saat ini, yaitu Michelin.

Di Indonesia sendiri, konsep ‘memanusiakan brand’ ini juga sudah sangat lumrah terjadi. Dari memberikan nama yang sifatnya adalah nama manusia. Membuat juga mascot seperti halnya brand Michelin dengan Bibendum-nya. Ada juga yang memberikan karakter manusia ke dalam brand-nya.

Brand Luar Negeri yang ‘Memanusiakan Manusia’ di Masa Pandemi

Namun sayangnya, banyak brand yang suka lupa untuk ‘memanusiakan manusia’ di sekitarnya. Ironisnya ketika manusia di sekitar brand seperti pegawai, konsumen dan masyarakat, mulai memanusiakan brand dan menganggap brand sudah seperti teman mereka, brand kebanyakan masih hanya menganggap manusia sebagai sumber pendapatan mereka saja atau hanya semata-mata pekerja mereka semata.

Akan tetapi hal tersebut, untungnya tidak terlihat di era pandemi ini. Karena pada dasarnya brand diciptakan dan dikelola oleh manusia, di era serba susah ini, brand-brand di dalam maupun luar negeri mulai menampilkan sisi ‘kemanusiaanya’. Baru di era pademi inilah, banyak brand yang berusaha mempraktikan ilmu ‘memanusiakan manusia’.

Foto: Dok. Gucci

Kilas balik, ke awal masa pandemi, di bulan Maret 2020, banyak brand yang ikut andil dalam memberikan bantuan kepada masyarakat di mana mereka berada. Contohnya, di tahun 2020, beberapa luxury brands seperti brand ‘Monclear’ yang membantu pembangunan konstruksi beberapa rumah sakit di Milan, dengan 400 intesive units.

Brand Gucci yang mengusung tema“We Are All in This Together” mengajak komunitasnya melalui tagar #GucciCommunity untuk ikut taat dengan peraturan kesehatan di mana pun mereka berada.

Saat itu di akhir bulan Maret 2020, vaksin belum ada, jadi salah satu usaha manusia untuk tetap hidup adalah dengan taat menaati peraturan seperti mencuci tangan, menjaga jarak, mengenakan masker dan juga tetap berada di rumah pada saat kebijakan Lock Down digalangkan.

Gucci dengan social medianya mengajak komunitasnya untuk  menaati itu semua. Selain itu Gucci pun juga memberikan donasi sebesar dua juta euro  untuk membantu mereka yang sedang berjuang melawan covid-19, dan satu juta euro untuk tempat di mana mereka berasal yaitu ‘Italia’ (yang saat itu sedang kewalahan menangani kasus Covid-19 yang kian merajalela).

Dana tersebut digunakan untuk membiayai pengadaan tempat tidur di ruang-ruang ICU di beberapa rumah sakit di Italia.

Brand Lokal yang Turut Membantu Masyarakat Saat Pandemi

Di Indonesia sendiri brand Wardah kala itu telah menjadi trending topic nomor satu, karena usaha mereka memberikan bantuan di kala pandemi. Bantuan mereka berupa uang sebesar 13 miliar rupiah untuk penangan kasus Covid-19 di beberapa tempat di Indonesia.

Ada juga usaha perorangan yang bekerja sama dengan institusi. Seperti usaha Mas Arto Biantoro dengan Benih Baik.Com yang bersama menggalangkan dana untuk membantu para pedagang kecil menghadapi pandemi, kala itu.

Foto: instagram.com/cokelatndalem

Brand lokal lainnya juga ikut berpartisipasi dalam upaya mereka ‘memanusiakan manusia’. Ada usaha dari Mba Meika dan Mas Yuda, pemilik dari Cokelat nDalem asal Yogyakarta, yang membuat program ‘Tulung Tinulung’. Sebuah program di mana Cokelat nDalem mengajak masyarakat berdonasi, dan donasi ini digunakan untuk membantu para garda depan yang kala itu berjuang di rumah sakit dan fasilitas Kesehatan di Yogyakarta.

Tidak hanya uang, Cokelat nDalem juga mengirimkan beberapa cokelat buatan mereka kepada para pejuang garda depan, kala itu. Ada juga kisah perancang busana ternama di Indonesia, Ibu Anne Avantie yang menyumbangkan beberapa baju APD bagi para tenaga kesehatan.

Banyak juga brand-brand yang walau sudah susah, mereka masih berusaha kaki jadi kepala, kepala jadi kaki untuk mempertahankan brand mereka. Banyak yang alasannya adalah karena mereka tidak mau usahanya sampai tutup.

Banyak dari para pelaku brand lokal kita yang tidak mau menutup usahanya bukan hanya karena mereka takut kehilangan mata pencaharian, tetapi mereka juga tidak mau orang-orang yang bekerja di perusahaan mereka kehilangan pekerjaan. Banyak dari mereka yang berusaha tetap semangat untuk mencari ide dan inspirasi. Hal apalagi yang mereka bisa lakukan untuk mempertahankan usahanya.

Sebuah kisah yang tidak akan ada habisnya. Sebuah zaman yang entah kapan berubahnya. Tapi sebuah angin segar bagi kita semua. Bahwa manusia di manapun kita berada punya hati yang baik dan tidak akan tega melihat orang lain kesulitan.

Semangat dan rasa empati ini pun kemudian hadir di brand-brand dalam maupun luar negeri. Kedepannya, brand-brand yang telah berupaya ‘memanusiakan manusia’ inilah yang tidak akan terlupakan. Brand-brand inilah yang kemudian dianggap sebagai sahabat oleh konsumen, karyawan maupun masyarakat di mana brand itu lahir dan tumbuh.

 

Tika Gilang dapat dihubungi melalui:

Instagram: @tikagilang