Fenomena Paris Fashion Week Dan Brand Lokal Yang Go Internasional

Jumat, 25 Maret 2022 | 09:00:00

Tika Gilang

Tika Gilang

Branding Coach

PhD Candidate, with Research Focuses on Branding

Fenomena Paris Fashion Week Dan Brand Lokal Yang Go Internasional

Rizal Rama, model asal Indonesia yang pernah tampil di Paris Fashion Week 2022. (Instagram @persona_mgt)

Fenomena Paris Fashion Week 2022 sempat santer dibicarakan pada awal Maret 2022 lalu. Bukan hanya fashionista, banyak orang menyoroti  beberapa brand lokal yang mengklaim mereka mengikuti ajang bergengsi Paris Fashion Week (PFW) tersebut. 

Pemerhati fesyen Lucky Heng mengatakan bahwa, tidak mudah untuk masuk ke PWF. Menurutnya, brand lokal yang mengklaim menjadi bagian dari PWF sangatlah misleading dan cenderung ‘membodohi’ masyarakat. Hal ini tentu menuai pro dan kontra publik.

Rasanya tidak adil bila yang disalahkan hanya satu pihak saja. Padahal, banyak pihak turut berperan dalam fenomena ini.

Selain, kejadian ‘PWF’ ini, tapi kita tahu bahwa betapa barat, luar negeri dan global begitu menyilaukan nan menggiurkan. Seakan-akan pasar dalam negeri tidak sepenting itu bagi para brand lokal

Brand Lokal Perlu Menaklukkan Pasar Indonesia

Menurut saya, sebagai bangsa yang besar, memulai dan menjadi dominan di pasar Indonesia terlebih dahulu tentu tidak bisa diremehkan. Hal ini merupakan sebuah tantangan dan bisa menjadi batu loncatan untuk akhirnya masuk ke pasar dunia. 

Mereka yang bisa memenangkan pasar Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, sudah seharusnya dirayakan dan sudah sepantasnya justru punya kekuatan untuk mengglobal.

Bagaimana tidak? Bangsa ini begitu beragam. Tidak mudah bagi seorang brand owner dari Bandung berjualan di Medan. Tidak juga gampang bagi brand owner dari Makasar berjualan di Surabaya.

Perbedaan budaya ini saja sulit sekali ditembus. Berbeda budaya, agama, bahkan bahasa menyebabkan masukan brand lokal dari satu daerah ke daerah yang lain akan sama sulitnya dengan berusaha masuk ke pasar internasional. 

Mengapa kita tidak contoh betapa uletnya dan kerja kerasnya Indomie? Sehingga saat ini, orang Surabaya, Medan, Makasar, Jakarta, Bandung, kalau mereka lihat hujan mereka akan terbesit “Indomie, enak nih”. 

Ilustrasi Indomie. (Special)

Sebagai hadiah dari kerja kerasnya untuk diterima oleh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, Indomie kini sudah mendunia. Ini adalah contoh yang bisa menjadi argumen kuat saya.

Menjadi pemenang di negeri sendiri tidak berarti kita ‘jago kandang’. Menjadi pemenang di negeri sendiri terlebih dahulu itu penting. Sebab, ketika kita merantau ke luar, kita tahu ada kekuatan besar dari bangsa Indonesia yang menyertai segala perjalanan. Daripada baru sukses di satu kota di Indonesia sudah mau loncat ke tanah asing. 

Hal yang Dilakukan Brand Lokal tuk Ciptakan Nilai “Luar Negeri”

Minat dan ketertarikan brand owner, konsumen bahkan sampai pengambil kebijakan akan hal-hal yang berkaitan dengan ‘Luar negeri’ sebenarnya cukup mengkhawatirkan.

Ada tiga hal yang dilakukan brand lokal Indonesia untuk bisa menciptakan nilai ‘luar negeri’ yang bisa diasosiasikan dengan brand-nya. Ketiga hal tersebut adalah:

1. Memasang iklan di medium billboard di beberapa tempat bergengsi di luar negeri

Ilustrasi billboard brand lokal. (Special)

Bila kebanyakan orang mungkin berbangga hati melihat brand-brand lokal yang mempromosikan produknya pada billboard di luar negeri, saya malah mengernyitkan dahi dan bertanya “untuk apa?’. 

Seharusnya brand-brand lokal ini justru memanfaatkan medium yang sama di dalam negeri, atau menciptakan promosi dan cara berkomunikasi dengan konsumennya di Indonesia. 

Cara yang kreatif, inovatif, dan juga berempati kepada konsumen bisa membuat konsumen dan calon konsumen menjadi lebih tertarik dan ingin dekat dengan brand tersebut.

Entah kenapa, nampaknya ada rasa bangga bagi brand lokal Indonesia untuk mempromosikan produknya di luar negeri ketimbang mempromosikan produknya dengan menggunakan elemen budaya Indonesia 

Lalu, menurutmu, apakah aktivitas ini kemudian membanggakan? Apakah ‘membayar’ kesempatan untuk tampil di luar negeri adalah suatu prestasi?

2. Konsumen lebih berminat dengan brand yang terasosiasi dengan ‘luar negeri’

Kesalahan tidak cuma ada dari brand-nya, tuntutan konsumen bahwa sesuatu yang bukan ‘Indonesia’ memaksa banyak brand lokal, terutama dalam industri fashion, yang menggunakan model barat. Bahkan ketika yang mereka jual adalah baju lebaran. 

Lucu sekali bila kita sekarang melihat ke marketplace atau di media seperti majalah misalnya. Brand-brand di dunia fashion masih banyak memilih untuk menggunakan model yang parasnya justru bukan paras orang Indonesia. Rambut pirang, mata biru, dan tinggi semampai, menjadi pilihan beberapa brand.

3. Gaya bahasa brand dalam berkomunikasi di media sosial

Saya pun bertanya kenapa banyak brand lokal yang menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Kalau alasannya agar biar bisa dibaca lebih banyak orang, di beberapa media sosial sudah diberikan fitur terjemahan. 

Tidak ada salahnya menggunakan bahasa Inggris, tetapi ketika brand Kamu menargetkan orang Indonesia, kenapa tidak menyapa mereka dengan bahasa yang akrab dengan mereka. Bukan bahasa yang dinilai ‘keren’. Sampai dengan menggunakan istilah asing dalam produk dan jasa yang ditawarkan. 

Apa Itu Consumer Ethnocentrism?

Sebetulnya, fenomena untuk menciptakan citra ‘luar negeri’ tidak hanya terjadi pada brand-brand di Indonesia. Fenomena yang sama juga terjadi di beberapa negara. Contohnya SuperDry brand asal Inggris, yang sering kali disangka sebagai brand dari Jepang. 

Dari beberapa penelitian akademik di bidang perilaku konsumen, mereka mengusulkan konsep bernama ‘consumer ethnocentrism’. Konsep ini diusulkan dan dikembangkan oleh Shimp dan Sharma (1987). 

Consumer Ethnocentrism adalah nilai yang dimiliki konsumen dalam dirinya tentang apakah mengonsumsi produk dari luar negeri adalah tindakan yang tepat ataupun bermoral. Mereka yang mengonsumsi produk dari dalam negeri dinilai berjasa, karena telah berkontribusi terhadap pendapatan ekonomi dan juga penciptaan lapangan kerja bagi tempat di mana brand lokal itu berada. 

Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Fenomena Consumer Ethnocentrism

Banyak konsumen Indonesia dan brand lokal yang pola pikir dan mentalitasnya masih menganggap bahwa apapun dari luar negeri pasti lebih baik dari apa yang ada di dalam negeri. Sehingga mereka akan melakukan segala cara untuk menciptakan image bahwa brand mereka adalah brand yang global, termasuk dengan personal brand mereka. 

Saya menduga bahwa beberapa konsumen di Indonesia berperilaku demikian karena begitu terbukanya dengan budaya luar negeri dan rendahnya rasa bangga mereka terhadap brand lokal.

Mereka lebih mudah menerima hal-hal yang berasal dari luar negeri. Brand yang terasosiasi dengan citra ‘luar negeri’ bisa dinilai sebagai brand yang lebih bergengsi, lebih berkualitas dan lebih terpercaya.

Apa yang Harus Dilakukan Brand Lokal?

Brand Sean and Sheila. (Instagram.com/sean_sheila)

Tidak perlu kerepotan untuk harus di kancah dunia, ketika brand Kamu belum bisa dinikmati konsumen dari Sabang sampai Merauke. Coba jadikan ini sebagai cita-cita juga target yang ingin dicapai oleh brand Kamu. Contohnya, sudah ada beberapa brand yang akhirnya mendunia setelah mereka menjadi juara di Indonesia

Percaya diri dan membantu konsumen untuk percaya akan kualitas brand Kamu. Pada akhirnya apapun itu, konsumen harus percaya bahwa brand Kamu, sebagai lokal bisa memberikan kualitas yang mereka harapkan dari uang yang mereka bayar. 

Oleh karenanya, belajar menjaga kualitas, dan terus berinovasi untuk menciptakan kualitas yang lebih baik lagi, bisa menjadi salah satu hal yang bisa Kamu lakukan untuk memenangkan hati konsumen.

Bertemanlah dengan konsumen. Brand lokal sebetulnya punya kekuatan untuk bisa lebih dekat dan berteman dengan konsumen di tempat mereka berada. Coba bersama konsumen, pilih salah satu budaya atau hal yang khas dari daerah tempat brand Kamu berada dan bersama-sama melestarikan hal tersebut.