Studi Ungkap Marah Dapat Membuat Kita Bahagia. Ini Faktanya 

Senin, 30 November 2020 | 18:35:26

LS Lifestyle

Penulis : LS Lifestyle

Studi Ungkap Marah Dapat Membuat Kita Bahagia. Ini Faktanya 

Rasa marah merupakan emosi yang dimiliki semua orang. Sayangnya, dibanding emosi lainnya seperti bahagia, sedih, dan kecewa, marah dianggap yang paling negatif. Hal ini karena marah dapat memicu tindakan agresif, bahkan merusak. Padahal, marah adalah emosi yang wajar, yang sama dengan emosi lainnya. 

Marah tidak selalu buruk. Pada kondisi tertentu, kemarahan dapat mendatangkan kebaikan dan keuntungan, bahkan kebahagiaan. Loh, kok bisa, bagaimana caranya? Jelas-jelas keduanya adalah dua emosi yang saling berseberangan. 

Sebuah penelitian yang dilansir dalam laman BBC News mengungkapkan bahwa kemarahan dan kebencian bisa membuat kita merasa bahagia. Orang lebih bahagia jika mereka bisa merasakan emosi yang diinginkan, bahkan jika emosi itu tidak menyenangkan seperti kemarahan serta kebencian. 

Penelitian yang dilakukan lintas budaya itu melibatkan sekitar 2.300 mahasiswa dari berbagai dunia, di antaranya Amerika Serikat, Brasil, Cina, Jerman, Ghana, Israel, Polandia, juga Singapura. Peneliti bertanya kepada para partisipan mengenai emosi apa yang mereka inginkan dan rasakan. 

Setelah itu, membandingkannya dengan bagaimana mereka menilai kebahagiaan total atau kepuasan hidup mereka. Hasilnya ditemukan, secara keseluruhan orang ingin mengalami emosi yang lebih menyenangkan. Mereka juga memiliki kepuasan hidup terbesar apabila emosi yang dialami cocok dengan yang diinginkan. 

Tak hanya itu, penelitian ini juga menemukan 11 persen orang ingin merasakan lebih sedikit emosi positif seperti cinta dan empati, sedangkan 10 persen orang ingin merasakan lebih banyak emosi negatif seperti kebencian serta kemarahan. 

"Jika Anda merasakan emosi yang ingin dirasakan, bahkan emosi itu tidak menyenangkan, Anda akan lebih baik," kata ketua peneliti Maya Tamir dari Hebrew University of Jerusalem. 

Untuk lebih mudah mencerna penjelasan di atas, Tamir mencontohkan, seorang wanita ingin meninggalkan pasangannya yang suka melakukan kekerasan, tapi enggan melakukannya mungkin lebih bahagia jika dia kurang mencintainya. Artinya, dengan ia merasa buruk, maka akan lebih baik. 

"Apa yang ditunjukkan penelitian ini bahwa orang yang lebih bahagia adalah mereka yang menjalani emosi secara alami dan positif. Saat marah disalurkan dengan baik, maka pemulihannya akan menjadi lebih cepat, tak ada dendam, tak ada penyesalan, dan itu menyehatkan mental, yang akhirnya membuat hidup lebih bahagia secara keseluruhan," ucapnya dikutip dari laman Health.com. 

Tamir menambahkan, penelitian ini tak berlaku bagi mereka yang mengalami depresi klinis. "Orang yang mengalami depresi klinis ingin lebih sedih dan kurang bahagia daripada orang lain. Itu hanya memperburuk masalah."

Ia menjelaskan, penelitian ini menyoroti sisi buruk dari berharap untuk selalu bahagia. "Orang-orang ingin merasa sangat baik sepanjang waktu dalam budaya Barat. Bahkan, jika mereka merasa senang sepanjang waktu, mereka masih berpikir harus merasa lebih baik, yang mungkin membuat mereka kurang bahagia secara keseluruhan."