Aliando Syarief Alami Gangguan Mental OCD, Apa Itu?

Sabtu, 29 Januari 2022 | 10:00:00

Gendis Ayu

Penulis : Gendis Ayu

Aliando Syarief Alami Gangguan Mental Ocd, Apa Itu?

Aliando Syarief. (Special)

Ladiestory.id - Baru-baru ini kabar mengejutkan datang dari Aliando Syarief. Aktor kelahiran 26 Oktober 1996 ini mengatakan secara langsung jika mengidap gangguan mental OCD.

Hal inilah yang membuat Aliando Syarief vakum dari dunia hiburan Indonesia. Aktor 25 tahun ini mengatakan jika dirinya vakum hingga mundur dari beberapa sinetron yang dibintanginya sebab gangguan mental OCD ekstrem.

Sebenarnya, apa sih gangguan mental OCD? Yuk ketahui tentang gangguan mental OCD yang dialami Aliando Syarief.

Apa Itu OCD?

Ilustrasi Gangguan Mental OCD. (Special)

OCD atau Obsessive Compulsive Disorder merupakan salah satu dari gangguan mental. Gangguan psikis ini membuat penderita melakukan suatu tindakan yang tidak dapat dikendalikan.

Justru tindakan tersebut dilakukan secara berulang-ulang (obesesi). Bahkan siklus OCD ini mampu menyita waktu hingga berjam-jam yang pada akhirnya mengganggu aktivitas normal.

Jika penderita tidak melakukannya secara berulang, dia akan merasakan raca cemas, takut, bahkan tidak sadarkan diri. Pada dasarnya OCD menyerang pikiran yang terjadi secara terus-menerus.

Kebanyakan penderita OCD sudah sadar jika tindakan yang mereka lakukan itu berlebihan. Namun mereka tetap melakukan hingga tidak bisa menghindarinya.

Penyebab OCD

Ilustrasi penderita OCD. (Special)

Gangguan mental OCD dapat menyerang siapa saja dan di mana saja. Namun, kebanyakan penderita OCD memiliki rentang usia 19 tahun ke atas. Bahkan laki-laki dalam usia ini akan lebih rentan terkena gangguan mental OCD dibanding perempuan.

Sebenarnya gangguan mental OCD sudah bisa dideteksi dari usia 5-10 tahun. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka baru menyadarinya usai berumur 19 atau 20 tahun. 

Walau belum diketahui secara pasti penyebab OCD, tapi beberapa faktor dapat memengaruhi gangguan mental yang satu ini.

Faktor pertama disebabkan karena penderita memang memiliki gangguan mental. Biasanya penderita OCD memang memiliki struktur korteks frontal yang berbeda dari normalnya.

Korteks frontal merupakan bagian otak di belakang dahi. Berfungsi untuk merencanakan, berpikir, berempati, memutuskan, mengontrol emosi, hingga memahami diri sendiri.

Kemudian, faktor genetik juga mempengaruhi seseorang mengidap OCD. Seperti orang tua atau anggota keluarga yang lain ternyata juga memiliki gangguan mental ini.

Lalu faktor yang terakhir disebabkan penderita pernah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, seperti pernah mengalami kekerasan fisik, psikis, maupun seksual.

Gejala OCD

Ilustrasi Gejala OCD. (Special)

Seperti yang dikatakan di atas, penderita akan menyadari jika menderita OCD jika sudah berusia 19 tahun. Hal ini disebabkan gejala yang ditimbulkan dianggap 'biasa' sehingga mereka tidak menyadari.

Gejala OCD dapat bertambah parah atau berkurang sesuai dengan waktu. Berikut beberapa gejala yang dialami oleh penderita OCD:

  1. Pikiran lebih agresif
  2. Takut jika terkontaminasi benda yang sudah disentuh orang lain. Sehingga harus mencuci tangan berulang-ulang
  3. Sering mengedipkan mata lebih dari orang normal
  4. Menggelengkan kepala secara terus menerus
  5. Mengulang suara batuh dan daham
  6. Takut keramaian
  7. Tidak bisa melihat sesuatu tidak sesuai dengan urutannya, ukurannya atau warnanya.

Kapan Harus Menemui Ahli?

Ilustrasi konsultasi pada ahli. (Special)

Jika penderita OCD sudah usia dewasa, dia akan lebih peka jika ada sesuatu yang "aneh" dari dirinya. Sehingga, gangguan mental OCD ini mampu mengganggu aktivitasnya sehari-hari.

Namun berbeda dengan anak-anak yang belum bisa membedakan. Sehingga para orang tualah yang harus lebih mengawasi dan peka terhadap tindakan anak. Jika kehidupan sang anak mulai terganggu, saat itulah harus dibawa ke dokter.

Dilansir beberapa sumber, kita harus menemui dokter terpecaya agar mendiagnosis apakah kita mengidap gangguan mental OCD atau tidak. Jika memang benar, biasanya akan dirujuk ke psikiater atau psikolog.

Kalaupun sudah mendapat rujukan, kita harus menjawab jujur apapun yang menjadi pertanyaan psikolog tersebut. Termasuk obat-obatan apa saja yang diminum. Hal ini akan membantu ke pemeriksaan selanjutnya.